Pendahuluan
“Ku kira coklat, nggak taunya
broklat, perutku jadi kacau berat, nggak! Nggak momo lagi”. Demikian sebuah
pernyataan yang diperankan oleh seorang anak bertubuh tambun dalam sebuah iklan
kudapan coklat bermerk “Gery Toya-Toya” produksi Garuda Food, yang ditampilkan
dalam iklan di berbagai televisi nasional. Sekilas iklan tersebut biasa saja,
namun sesungguhnya memuat pesan yang menyerang pesaingnya bernama ”Momogi” kudapan
buatan perusahaan lain. Dilain pihak beberapa iklan di televisi menampilkan
produk toiletris seperti sabun mandi, atau perawatan kulit, yang secara sengaja
mengumbar kulit mulus wanita cantik, atau kita juga disuguhkan oleh iklan obat sekali
minum sembuh, padahal proses penyembuhan penyakit tidak sesederhana itu. Tayangan
sinetron di televisi nasional juga tidak lepas dari kritik penonton , demi
rating sebagian besar televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan,
mistik, horor, dan menampilkan kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan
merupakan kondisi riil masyarakat kita.
Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian orang atau
organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik dengan cara
menyerang pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan kebohongan publik. Apakah
bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya ia menjadi profesi kotor? Kalau
profesi kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu banyak orang yang menekuninya
bahkan bangga dengan itu? Lalu kalau ini profesi kotor betapa mengerikan
masyarakat modern ini yang didominasi oleh kegiatan bisnis ini (Sony
Keraf:2000). Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor
turut
mempengaruhi dan menentukan kegiatan
bisnis. Antara lain faktor organisatoris manajerial, ilmiah teknologis, dan
politik-sosial-kultural, Kompleksitas bisnis itu kegiatan sosial, bisnis dengan
kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan
banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua faktor
yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan
dianalisis melalui pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori
manajemen (K. Bertens : 2000)
Etika bisnis
Etika sebagai praktis berarti :
nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru tidak
dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran
moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan
dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas.
Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif
(descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan pengalaman
moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan
sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia. Kedua, etika normatif (normative
ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang
mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia. Ketiga,
metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa
yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan
pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh
istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan
kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007) Apa yang mendasari para
pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas
dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan
mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral.
Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan
beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke arah
etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika
perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi
mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan?
(Laura Pincus hartman:1998) Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat,
keuntungan adalah hal pokok bagi kelangsungan bisnis merupakan alasan utama
bagi setiap perusahaan untuk berprilaku tidak etis. Dari sudut pandang etika,
keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara moral keuntungan merupakan
hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral keuntungan
memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua,
tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia menanamkan
modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang produktif
dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan
perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup
yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (expansi)
perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru. Dalam mitos
bisnis amoral diatas sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan pertempuran.
Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan sasaran
akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara konstan.
Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat. Pertanyaan
yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan dalam
bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan
dengan tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai
etika bagi bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan? Dalam
mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang profesional
di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang kebanyakan,
ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata kinerja
pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek bisnis,
manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek etis. Kinerja
yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral,
integritas moral, disiplin,
loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan mutu, penghargaan
terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders),
yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam sebuah
perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam melakukan
praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra, merupakan
contoh kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis. Dalam teori Kontrak
Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama adalah Hypernorms
yang berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik & kesejahteraan,
partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta, hak-hak
untuk penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia. Kedua,
Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan moral,
persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan hypernorms,
prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai landasan
dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi, menghormati
semua kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi penduduk lokal,
memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat kerja yang
aman (David J. Frizsche: 1997) Dalam semua hubungan, kepercayaan adalah unsur
dasar. Kepercayaan diciptakan dari kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas
yang paling sulit dari karakter untuk dicapai didalam bisnis, keluarga, atau
dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk melakukan persaingan
dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam tiap-tiap
kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam bisnis
mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan
energi dan sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita
kembangkan sepanjang perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada
karyawan, para pelanggan tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung
pada peminjam dan pada setiap pelaku atau para pihak sekarang tergantung pada
para pihak terdahulu dan ini akan berlangsung secara terus menerus. Oleh karena
itu kita menemukan bahwa bisnis yang berhasil dalam masa yang panjang akan
cenderung untuk membangun semua hubungan atas mutu, kejujuran dan kepercayaan
(Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996).
Sumber : Achyar Eldine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar